Yaslis Institute

We serve you better. We provide all you need in training, workshop, consultant and research human resource, health, hospital, insurance.

Masalah Kesehatan Jiwa Sangat Mengkhawatirkan

Jumat, 04 September 2009

1. Masalah Kesehatan Jiwa

Tekanan hidup yang menghimpit dan kegelapan masa depan menyebabkan banyak masyarakat menderita sakit jiwa mulai dari ringan sampai berat. Hal yang paling memilukan hati tingginya angka bunuh diri disertai pembunuhan terhadap anak yang mereka kasihi. Kasus yang sudah semakin prevalen ini perlu menjadi perhatian kita, terutama Pemerintah dan Departemen terkait, untuk ditangani secara seksama agar tidak menjadi semakin memburuk.

Ada sejumlah kasus bunuh diri yang dapat kita ketahui dari mas media. Pada tanggal 22 November 2007 kita dikejutkan berita Reportase Pagi TRANS T.V. tentang jatuhnya seorang mahasiswa, Yhosua Putera Purba, dari lantai 12 gedung Universitas Atmajaya. Setahun yang lalu kejadian serupa terjadi dua orang bunuh diri dengan melompat dari elevator pada suatu mal di Surabaya. Peristiwa bunuh diri dengan modus menjatuhkan diri dari gedung tinggi akan semakin menjadi pilihan orang yang menderita kelainanan jiwa atau stres.

Tragedi yang paling memilukan adalah peristiwa beruntun bunuh diri dan membunuh anak balita yang banyak terjadi akhir-akhir ini. Pertama, nasib tragis menimpa keluarga Jiyono (32), warga Dukuh Jantir, Boyolali, Jawa Tengah. Istri Jiyono, Mujinem (30), dan anak keduanya, Astiwi (2), ditemukan tewas gantung diri, Rabu (20/7/05) siang. Sebelum gantung diri, Ny Mujinem diduga terlebih dulu membunuh anaknya dengan menjerat memakai tambang plastik. Kedua, Ropingah, 30 tahun, warga Dusun Ngelo, Sukoharjo, Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman, nekad bunuh diri dengan cara membakar diri bersama dua anaknya (04 Mei 2007). Ropingah tewas bersama Hasbi Novid, anaknya yang baru berumum 1 tahun. Adapun, anak satunya lagi, Ibnu Rizal, 8 tahun, selamat dengan luka bakar serius.(Tempointeraktif.com) Ketiga, seorang ibu di Bekasi membunuh anaknya, Mutiara Yusuf, 2 tahun; Aldi Rasyid, 4 tahun, dengan menenggelamkan kedalam bak kamar mandi. Kejadian tragis ini terjadi pada tanggal 14 Maret 2008. Terakhir, modus yang sama ditiru oleh seorang ibu di Pekalongan 2 anak balita, Sabila Putri Kaera dan Fadli Muhammad Niizam, meninggal ditenggelamkan di bak mandi pada tanggal 22 Maret 2008. (Kompas, 27 maret 2008)

Data World Health Organization menyampaikan, sedikitnya 50 ribu orang Indonesia bunuh diri selama tiga tahun terakhir. Kemiskinan dan himpitan ekonomi menjadi penyebab tingginya jumlah orang yang mengkhiri hidup. A Prayitno mengatakan, faktor penyebab orang nekat bunuh diri karena kemiskinan yang terus bertambah, mahalnya biaya sekolah dan kesehatan, serta penggusuran. Semua itu berpotensi meningkatkan depresi akibat bertambahnya beban hidup. Menurut Prayitno, berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization yang dihimpun tahun 2005-2007 sedikitnya 50 ribu orang Indonesia bunuh diri. Jumlah kematian itu belum termasuk kematian akibat overdosis obat terlarang yang mencapai 50 ribu orang setiap tahun. Prayitno mengungkapkan, dari jumlah tersebut, 41% bunuh diri dilakukan dengan cara gantung diri dan 23% dengan cara meminum racun serangga. (www.vhrmedia.com)

Data Departemen Kesehatan menyebutkan, beberapa daerah memiliki tingkat bunuh diri tinggi, antara lain Provinsi Bali mencapai 115 kasus selama Januari - September 2005 dan 121 kasus selama tahun 2004. Pada 2004 di Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah, tercatat 20 kasus bunuh diri dengan korban rata-rata berusia 51-75 tahun. Kasus bunuh diri di Jakarta sepanjang 1995-2004 mencapai 5,8% per 100 ribu penduduk, kebanyakan lelaki. Dari 1.119 orang bunuh diri di ibu kota negara, 41% dengan cara gantung diri, 23% menenggak racun. Selain itu, 256 orang menemui ajal akibat overdosis obat. Tingginya angka bunuh diri di Indonesia mendekati negara pemegang rekor dunia seperti Jepang mencapai lebih dari 30 ribu orang per tahun dan China yang mencapai 250 ribu orang per tahun. (www.vhrmedia.com)

Semua tragedi diatas hanya merupakan ujung gunung es dari permasalahan kesehatan jiwa yang dihadapi oleh seluruh penduduk Indonesia. Krisis ekonomi yang belum mereda telah menimbulkan dampak terjadinya pengangguran dan persaingan yang makin ketat dalam berbagai bidang, baik dalam pekerjaan maupun sekolah. Masyarakat dituntut untuk lebih cepat beradaptasi, namun tidak semua individu dalam masyarakat mempunyai kemampuan untuk beradaptasi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi. Pada kota-kota besar faktor pemicu penyakit jiwa ditambah lagi dengan carut marutnya lalu lintas dan kerawanan sosial yang tinggi membuat stres dan meningkatnya perilaku agresif penduduk kota. Khusus untuk masyrakat Papua perubabahan socio-politik dan factor ekonomi akan merupakan stressor pemicu kelainan jiwa pada penduduk.

Kondisi demikian sangat rentan terhadap terjadinya stress, anxietas, konflik, depresi, ketergantungan terhadap NAPZA, perilaku seksual menyimpang, serta masalah-masalah psikososial lainnya. Lebih lanjut, Persatuan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa memperkirakan 1 dari 4 penduduk Indonesia mengidap penyakit jiwa. Artinya, diperkirakan sekitar 25% penduduk Inonesia diperkirakan mengidap penyakit jiwa dari tingkat paling ringan sampai berat.

2. Apa yang telah dilakukan Pemerintah?

Masalahnya, apakah yang telah dilakukan oleh Departemen Dalam Negeri, Departemen Kesehatan dan Kementerian Sosial untuk mencegah dan mengurangi masalah kesehatan jiwa masyarakat? Apakah ada program prevensi kesehatan jiwa masyarakat yang dilaksanakan pemerintah? Bagaimana peran Dinas-Dinas terkait Kabuapten/Kota untuk mencegah dan mengurangi masalah kesehatan jiwa masyarakat? Bagaimana peran sosial (keluarga, kerabat dan masyarakat) untuk bersama-sama memerangi penyakit jiwa yang semakin mengkhawatirkan ini?

3. Program Kesehatan Jiwa Berbasis keluarga

Kenapa selama ini kita tidak dapat bertindak untuk mencegah terjadi peristiwa bunuh diri di lingkungan kita? Banyak faktor tentunya yang mempengaruhi ini; ahli sosiologi mengatakan lemahnya daya kohesi sosial dalam masyarakat dan banyak faktor lainnya. Sebagai pengamat kesehatan masyarakat; salah satu sebab adalah tidak cukup pengetahuan masyarakat tentang kesehatan jiwa itu sendiri. Ditambah lagi, program kesehatan jiwa masyarakat hampir tidak terdengar kiprahnya di masyarakat.

Penderita penyakit jiwa masih terlalu jauh dari jangkauan program kesehatan masyarakat. Seharusnya, program kesehatan masyarakat harus fokus kepada keluarga. Artinya, pemberdayaan masyarakat harus berkerja di tingkat keluarga. Setiap anggota keluarga harus termotivasi untuk mengambil peran dalam mempromosikan perilaku hidup sehat dan dapat mendeteksi, mencegah dan mencari akses pelayanan kesehatan jiwa yang dibutuhkan.

Puskesmas seharusnya berkerja dengan sistem informasi berbasis keluarga sehingga dapat diketahui kondisi kesehatan setiap keluarga. Dengan demikian, setiap Puskesmas dapat merencanakan dan melaksanakan kegiatan berdasarkan masalah kesehatan keluarga pada daerah kerjanya.

Personel Puskesmas harus mempunyai kompetensi untuk melakukan penyuluhan, promosi dan pengobatan penyakit jiwa yang tidak membutuhkan rawat inap di rumah sakit. Sebagian besar masalah kesehatan jiwa seharusnya dapat ditangani di tingkat Puskesmas. Perlunya pelatihan personil Puskesmas untuk menjalankan Program Kesehatan Jiwa Keluarga sudah seharusnya menjadi perioritas Departemen Kesehatan dan Kementerian Sosial, Republik Indonesia. Apakah pejabat kita memikirkan masalah ini? Wallahu Alam…


Oleh : Dr. drg. Yaslis Ilyas, MPH

Revisiting Community-Based Health Workforce From Community-Based Approach to Family-Based Approach Case of Indonesia

I. Introduction

Indonesia is the largest archipelago in the world with more than 17,500 islands with various cultures of people. They also have various customs and behavior. Indonesia is located between the Hindia ocean and the Pacific ocean. From the west to east the area of Indonesia is as largest as the North America continent which live a hundred of ethnics with different local language. The national language is Indonesian language; it is well known as Bahasa; although, in big city and business communication often people speak in English language. The country is divided by three time zone times those west, central and east Indonesian time.

Since 2001, Indonesia has applied decentralization policy which takes consequences increasing the number of provinces and districts/cities. Indonesia administratively is divided into 33 provinces , 444 districts and 91 cities. Those regions

II. Population

Indonesia’s population in 2005 was 218,668,790 with density 117,6 per sq km, and the growth of population rate was 1.26%. More than half population ( 58.1%) live in Java island. It is 21.03% of total population lived in Sumatera; 7.21% in Sulawesi; 5.53% in Kalimantan; 5.4% in Nusa Tenggara and only 2.12% lived in Maluku and Java island has highest population density. Meanwhile, other islands such as: Kalimantan, Sumatera, Sulawesi and Papua have low density population Papua. More than half (56.76%) population lived in rural area and 43.24% lived in urban area.

In 2005, it was 29.61% of population under 15 years of age while only 4.17% were aged 65 and over. Therefore, dependency ratio in 2005 was relatively high (52.26%). Male population relatively was balanced with female. Male population were 108,876,089 and female population were 108,196,257. Sex ratio in 2005 was 101.11. Population composition by sex and age indicated that the highest proportion were group of 10-14 years of age and 5-9 years of age.[2]

III. Economic Situation

For the last three years, the economic situation of Indonesia was relatively stable and indicated quiet satisfied progress. Economic performance in 2003 indicated 4.88% of growth and in 2004 up to 5.13%. The economic condition in 2005 was more better, that is indicated by the scaling up of economic growth up to 5.6%. In the year 2006 the economic condition was getting more stable which shown by it increased to 5.8%. Unfortunately, the increasing was not synchronized by inflation rate. Data from BPS-Statistics Indonesia mention that inflation rate in 2003 was 5.06%. It increased to 6.40% in 2004 and to 17.17% in 2005 (January – November 2005).[3] However, in 2006 inflation rate was sharply decreased to 6.5%. So, during the last three years our economic condition is relatively unstable. Meanwhile, Gross Domestic Product in 2004 was 10.5 million of Rupiahs and 2005 increased to 12.7 millions of Rupiahs. It was getting better in 2006 up to 15. millions of Rupiahs.[4]

Number of poor people in 2004 were 36.1 million people or 16.7% of total population. It was lower than poor people in 2003 (37.3 million or scaled down into 3.19%). In 2005, the number of poor were increased to the 35.1 million people ( 15.97%) and in 2006 were more increased up to 39.3 million (17.75%).[5]Percentage of poor people in rural area was higher than urban. It was 20.11% in rural and 12.13% in urban. Province with highest percentage of poor people was Papua (38.69%), and it was followed by Maluku (32.13%) and Southeast Sulawesi (29.01%). Meanwhile, province with lowest percentage of poor people was DKI Jakarta (3.18%); it was followed by Bali and South Kalimantan (7.19%). Province with the highest number of poor people was East Java (7.3 million of people or 20.23%). It were followed by Central Java (6.8 million or 18.93%) and West Java (4.6 million of people or 12.88%).[6]

IV. Health Situation

Based on huge and hard effort of the government, particularly in period 1970 to 1997, the health situation of Indonesian is getting better; even if we compare to some countries in region Indonesia is low behind. The economic crisis in 1998 that lead to the collapse of the socio-economic development. In health sector, the scarcity of resources made the health programs, particularly the community based health program could not work effectively. Majority of the Integrated Health Post (IHP) were fall down; since there was no resources to support this program. Concerning to this situation, since 2001, the Ministry of Health has conducted the revitalization of the IHP which ran some program to back up the program such as: training cadre, provide drug, health instrument and part of operational fund. Beside that, the government has been introducing the medicaid program for poor people. In the year 2007, the medicaid program covers more than 70 millions people; it means one third of the people are insured by this program. The some health indicators that are figured out the health status of the country as follows:[7]

  • Crude birth rate : 19.3/1000
  • Crude death rate : 6.9/1000
  • Total fertility rate : 2,6
  • Infant mortality rate : 35/1000
  • Under-fives mortality rate : 46/1000
  • Maternal maternity rate : 307/100,000
  • Life expectancy (years) : 66.2
  • Total expenditure for health as percentage of GDP : 2.7%

V. Community Based-Health Worker

History of CBHW in Indonesia come from long story. In exploring the CBHW, we can use the government political period and the community health organization those are exist in the village. Based on government period or political regime, we can divide the role of CBHW to three eras. First, we call as an Old order era. It started from the year 1945 to 1965. Second, the new order era which ruled between the year 1965 to 1997. The last is the reformation era from the year 1997 to the current. In each era, there are any differences and similarities of characteristics of CHW in Indonesia. Furthermore, to discuss the community based health worker (CBHW); we employ the community health organizations those are exist in the village. Based on our knowledge that the CBHW play role in the health program via this organizations. From this vehicles, the health program is usually conducted in community.

V.1 CBHW in The Old Order Era of Governmental Regime (1945 -1965)

In this period, there was no the community based action for health that is developed by people. We only know the CHW as traditional healer who treat their people in the community. In this era, there is no special program or institutions that was developed by government (MOH) to support the community based action for health. It seems that the involvement of government in development of CBHW was very limited. The health training for the TBA was started in the year 1952 by Ministry of Health (MOH).[8] The training program provide a knowledge and skill in the mother and child health care. However, most of traditional healers never get the elementary health training such as: cleanliness training to prevent the infection from bacteria and to increase the quality of services. In this era, we can find some kind of CHW such as:

a. Traditional Birth Attendant (TBA)

A TBA has been defined as person (usually woman) who assist the mother at childbirth and who initially acquired her skills delivering babies by herself or working with other TBAs.[9]

b. Herbalist

A Herbalis describes a traditional healer whose specialization lies in the use of herbs to treat various ailments. He is expected to be highly knowledge in efficacy, toxicity, dosage and compounding of herbs

c. Bone setter

A bone setter is specialist in one aspect of traditional healing, being skilled in the ability to treat fractures.[10]

d. Traditional Psychiatrist

The traditional psychiatrist’s main function is the treatment of madness but he may treat other diseases, and in his capacity as mediator between his community and the gods. He may be called upon in any crisis such as flooding or famine.[11]

e. Spiritualist or Diviner

Diviner get knowledge of secret or future things by means of oracle, omens or astrology, or contact with superhuman of divine sources. In the history of medicine divination has actually been used for diagnosis and prognosis of disease and for deciding upon the most effective remedies for treating it; and it is an instrument which has, in culturally homogeneous society, the secondary therapeutic effect of making the patient feel that the unseen world is supporting the therapist and is involved with him in the treatment.[12]

Majority of traditional healers (TH) are usually family heritage job; it means they get knowledge and skill from her/his ancestors. The THs are generally an older person; they could be female or male. They live in community which their practices. They give services everything related to the need of the community. For instance, the Traditional Birth Attendant (TBA) gives services related the childbirth such as: preparation, suggestion and massage the pregnant mother, delivery baby, massage the baby and provide special herbal for the mother. In generally, village pregnant woman prefer to visit TBA since they trust TBA, easy to access, and the cost relatively affordable. In this era, the most of the pregnant mothers especially who live in the village get delivery services from the TBA. They play key role in the mother and child health. So, in this era we can conclude that the community based health worker is unknown yet.

V.2 CBHW in The New Order Era of Governmental Regime (1965 – 1997)

In this era, we can find some origin of community based actions for health and the community health worker started to develop to tackle the health problem. In the year 1965 till 1976, the community health program was initiated by the non-government organization. First, genuine community based program, in 1970 the YAKKUM (Non Government Organization) developed a simple health fund in Solo city, Central of Jawa. The program provide an financial access to the member to get health services from the Health center. And then, the program enlarged to the prevention of disease and curative services. Furthermore, we find the other community participation in health development in Banjarnegara District, Central of Jawa in the year 1975. The community health program conducted several activities to provide the public health services for the community. The nutrition program conducted thru the child under five unit, control of diarrhea disease, immunization program, health treatment via village health post, and the family planning was conducted by the village family planning post.[13] Finally, the community participation in health program inspired the Health Office of Karang Anyar District to develop a project health program based on community involvement. The project are conducted in 5 villages and started with the household survey to explore the health status and problem in 1976.

Involvement of the community leaders in discussion and finding solution of the health problem was the key of action of the program. The solidarity of the people is the based of the action program to solve the village health problem. The village health fund and health training for cadres are key success of the program. The success story of those programs base on the philosophy that health program has to belong the people and come from people and benefit for the people. The concept of self help and self reliance based on the success story of the community based action for health in this period. It seems that the government role is limited on facilitating, training and motivating, but the village health worker play role dominantly in planning, executing and implementing the health program that comply to their needs.

Second, the Community Village Development for Health Era (CVDH 1976 - 1985).

The success of community participation in health development drove the MOH to develop the Community Village Development for Health (CVDH) in Indonesia The CVDH is a model of community based health program. In 1976, the concept of CVDH is accepted as the best approach to increase the coverage of health care. The CVDH is hoped that could improve the health status of the people. Thru some seminars and workshops; there are some agreements about the characteristics of the CVDH :

  • The definition of the CVDH is the community action for health. Participation of the community is the potential component to conduct the CVDH. It means the role of CBHW is very important and a must to run the CVDH.
  • The CVDH is an integral component of the village development as whole which should be simple and effective.
  • Interconnection among sectors ( agriculture, health, family planning, and internal affair) are very needed to make the CVDH works well.

The program is conducted by people based on solidarity and self reliance to create social welfare and quality of life thru the improvement the health status. The health activities are an integral component of village development that supported by inter-sector and inter-program of the government. [14]

To develop the CVDH, the community leaders and the health personnel share roles. While the community leaders already committed; they usually create the health committee

which functions :[15]

  • Identify the health needs of the community and decide the health priority. More often, they do know how to solve the health problems. Of course many of the villages need a help from the health personnel to facilitate village meeting for health program. Organize the solidarity community action such as: making toilet, nutrition garden, and water bamboo pipe.
  • Select health cadres to be the health promoters. It is better the selection of cadres thru the village meeting so they are legitimate from the society.
  • To facilitate and run the village health program
  • To develop the network to inter-sector and inter program those are conducted in the village

The health center is the health organization which provide directly health services to the people. Relation to the CVDH, health personnel have roles :

  • To help the community to decide the health problem and making the priority.
  • To conduct health training for the cadres such as: eradication of communicable disease, mother and child health, nutrition, family planning, environmental health, first aid accident and treatment the common disease.
  • To supervise and guidance. Even this function so important however this activity is relatively rare conducted. It is caused of lacking of the transportation facility and financial support.
  • To facilitate a supply such as: simple medicines, leaflet, guidance book, audiovisual aids for promotion activity. To refer the patients which are needed health care to the health center.

Together with the community leaders evaluate the CVDH activity and make some corrections if needed and continue the good health program.

Furthermore, the Ministry of Health developed a pilot project of the CVDH in 12 provinces. In this period, the role of health personnel were getting more dominant. In generally, the initiative of the community health program usually come from the health personnel. In spite of that is any origin initiative come from the head of the village. He commonly asked the health center to train the health cadres to tackle the health problem such as: malaria and influenza. It seems that the villages those have initiative and high motive more success and sustainable in running the health program.

From this description, we can say that involvement of the village health cadre in the community health action are started in 1976. The criteria of the cadre are live in the village, minimum finished elementary school, having permanent income, and volunteer. The health cadres were trained for only 3 days which curricula such as: mother and child health, nutrition, family planning, environmental health, first aid accident and treatment the common disease. Furthermore, the activities of the CVDH were focused in decreasing of IMR and MMR. It was started with the joint order of the Ministry of Health, the Family Planning Coordination Organization and the Ministry of Internal Affair in 1984.

By that explanation, we see that the CVDH is the integrated program between health cadre with the health personnel. We can say that in this era the health cadres are derived to function in managing the village health program. However, slowly but certain that the health personnel’ roles are getting more dominant and that conflict to the concept of the CVDH it self. This situation could decreased the spirit and motive of self reliance of the CVDH.

Third, the Integrated Health Post (IHP 1985 - Current).

The CVHD as model of the CBHW is the success story. Furthermore, the model is adopted by government. The CVHD was transformed to be the Integrated Health Post (IHP) which are integrate the 5 health services (mother and child health, family planning, immunization, nutrition and preventing the diarrhea) in the one organization.

The activity of IHP is conducted by cadres and supported by health personnel. It was reported in 1991 that 1,8 million health cadres were trained. Duration of training only 3 days.[16] In term of number might be huge, but the question is how about the quality? Conceptually, the health cadres are volunteer, but in reality they get some incentives such as :

  • transportation fee, usually Rp 5000 per H day ( $ 0.5 )
  • free service treatment in the health center
  • free uniform
  • study tour
  • acknowledgement as the best cadre election in the level of district,

province and country

The number of cadres in every IPH are 5 persons that are related to 5 tables system activities.[17]

The system of services of the IHP

Steps Services Operator
First Admission of child under 5 Cadre
Second Weighing Cadre
Third Fill in health card Cadre
Forth Health promotion Cadre
Fifth Medical services Health personnel

In 1986. the IHP was launched by President of Republic of Indonesia as model of the CBHW that are implemented to every village. From this point, the CBHW has been drifting from the community health action that become more the government’s initiatives. To strengthening the IHP in 1990, the government introduced new program which is posted the midwife in every village. The objectives of this program to strengthen the program in decreasing of the IMR and MMR certainly. The IHP becomes the national program and tend to be more centralized.

In this period, many success story of the community-base health action were produced by Indonesia. The famous one is the family planning program that is recognized by the world. Some factors those have influenced the success story are consistence policy, good plan, community involvement (formal and informal leader), enough budget support and good implementation program. The most important factor is that it uses family–based action approach. The comprehensive plan of the program lead to sustainable program action in the field. It is reported by Chief of the Family Planning Coordination Organization that the program achieve 66% of acceptors among the reproductive couples in the year 2006. [18]

V.3 CBHW in The Reformation Order Era of Governmental Regime

(1997 – Current)

As the socio-economic crisis in 1998, it was reported that the IHP’s activities decreased and many of the IHP were no activity at all. Moreover, in 2001 the government ran the revitalization program of the IHP. The program provided a training for cadres, facilitated the health instrument and fund for activating of the IHP. However, it is predicted only 50% of the IHP are active.[19] Majority, in H day activity of IHP that only 2 cadres who actively assist the IHP program. They usually work in the table 1 (admission of child under 5), table 2 ( weighed the child) and table 3 (recording the result of weighing in the health card and the rest activities are conducted by the health personnel.

Meanwhile, it is reported that in 2006 the number of IHP are 242, 211. Beside that, there are 25,723 the village maternity homes and 11,032 village drug post. If the number could be trusted; it means every month there are 21 million child under five are weighed and monitored the growth, got additional of food and Vitamin A twice a year.[20]

Later on, the Village Health Post (The VHP) is introduced by MOH (2006)

The VHP has established in the village in order to provide or to bring closer basic health care for the village community. Village Health Posts are health facilities which are the meeting point between community efforts and Government support. The activities of Village Health Posts are expected to be able to implement health care activities for the village community, at least:

  • Simple epidemiologic surveillance on diseases, especially communicable diseases and diseases which have the potency to create outbreaks and its risk factors (including nutrition status) as well as the health of risky pregnant mothers.
  • Disease control, especially communicable diseases and diseases which have the potency to create outbreaks and its risk factors (including malnutrition).
  • Preparedness and disaster control and health emergencies.
  • Basic medical care, according to its competence.

Village Health Posts are implemented by health manpower (a midwife at the minimum) from public health centre and assisted by at least 2 (two) cadres. Building physical facilities, health supplies and equipment should be available for the implementation of Village Health Post services. It is also necessary for the Village Health Posts to have communication facilities (telephones, cellular phones, or courier) in order to communicate with the community and health facilities (especially health centers).

Finally, MOH have run a new program that is called the Alert or Steady village (the SV) that is developed from the village health post (2007). The steady villages are description of a community who are aware, willing and able to prevent and overcome various threats towards community health such as malnutrition, communicable diseases and diseases which are potential to trigger outbreaks, disasters, accidents, and others, by utilizing local potentials through mutual cooperation.

In the year 2009, the program is targeted that 69,000 villages will become the steady villages. Characteristics the steady village as follows:

  • has village health post that could be developed from the village maternity home
  • has community based surveillance device for diseases, nutrition, environmental health and healthy life behavior
  • has emergency services system
  • has self health fund system

The program will post one health personnel in every village in Indonesia. The competency of personnel are midwife plus health environment and nutrition competencies. The program objective is that the health personnel could be acted as agent of change and the motor of the steady village. It seem the program is so ambitious; the program will distribute about 69,000 health personnel to post in every village in Indonesia. In my point of view, the program seems good but it should be supported with hard work of health personnel and enough operational budget in implementation.

If we see in term of the number of CBHA, number of health personnel and the number of cadres that government might be has achieved some success. Even, some health indicators show that are decreasing of IMR and MMR, but comparison to same countries in region, Indonesia is still low behind. As well, the UNDP reported that HDI of Indonesia (114) is still high comparison with Philipine (84), Thailand (74) and Malaysia (61).[21]

VI What is the CBHW in Future? Is the Family Based Health Action a Solution?

In this section, I want to present my point of view on the issue of the CBHW. Based on literature review, academic discussion, and my experience, I will introduce the concept of the Family-Base Health Action (FBHA) that could be a solution to solve the health problem in community. I believe that the FBHA will be more workable since it uses a process approach to the right target. the FBHA focus to facilitate to empowerment of the family, so they able to overcome their health problems.

Lets see, after more 3 decades, we have conducted the community-base health program. It seems that we achieve some objectives. However, we still face the similar health problems a long the years. The problems of TBC, Malaria, Dengue, AIDS, Malnutrition, and local diseases such as: Frambusia and Rabbies are still exist if not worsen. In addition, we countenance too the re-emerging infectious disease such: polio and new emerging diseases such as: SARS and Avian flue. Those problems, could be used as indicators of performance of the community-base health program. Do we really in the right tract in eradicating the community health problems?

Some lesson learns from the Indonesian experience give us some explanations of the community based health program as follows :

  • the IHP in term concept might be good, however it works less than it’s plan. It is caused the IHP works based on structural approach. The IHP becomes a satellite of the community health center (CHC) and the CHC is sub-ordinate of the District Health Office. Therefore, many of the IHP tends like a bureaucracy and depends on the personnel of the CHC. It means that the activity of the IHP tend to depend on the activity of the CHC. If the IHP is supported by the good of the CHC; that could be the IHP works actively.
  • the centralized and homogenized the program are not workable. For instance, in Jakarta, the chief of the Family Welfare Program orders to the Community Health Center (CHC) that the H day of IHP has to open on 27th every month. It can not be supported by every CHC since that is not enough health personnel. As consequences, some the IHP run without any health personnel. That means the table 4 and table 5 do not provide the services. The question is how the IHP works in other province and specially in the remote area? Of course, in other provinces the situation could be different. Many provinces, the H day of IHP opens depend on the cooperation between health personnel and the cadres. As a result, they can work together smoothly.
  • the lacking of knowledge and skill of health cadres since only get training 3 days that leads to the limitation of cadre’ role since lack of competency
  • high rate of cadre’s turn over. It could be understood since the cadre base on the volunteer. It is so difficult to maintain by every the CBHA in the long term. However, this problem is an universal that will be faced by every country.
  • the government’s role too dominant that lead to demolish of people initiatives and motives
  • the government does not allocate enough fund for the promotion and prevention in the Community Base-Health Program.

It is understood that the concept of CBHW hard to solve the people problem. One important factor that could be dominant in making the CBHW does not work effectively is it works in the level community. Meanwhile, the true health problems are in the family or household. Therefore, we have to focus the program to the family health. Only the member of family is really concern and accountable to the health status of family. Only the member of family who want to pay and take care if one of the family member get sick. Only the member of family who want to be sacrifice if one of the family member has to hospitalized. Thus, the community empowerment should be worked in family level; since the family health is considered as an asset and capital in the village development. Every family should be motivated and encouraged to actively take part in promoting good healthy behavior as bottom of development of community health. In simple word, the CBHA should be changed to the family based health action.

In the FBHA, all the activity of public health programs are focus to facilitate to empowerment of the family. It means the core of the public health program is family health. In the FBHA, the program should be focused to:

  • the FBHP base on the functional or process approach
  • the target of the FBHA is family
  • the cadre is member of the family
  • every member of family is accountable to health status of family
  • train family cadre to solve the health problem of his/her family
  • empowerment the cadre to help his/her family to get an access on health services

The role’s of the government in development of the FBHP as follows:

  • provide an opportunity and facilitate that family has ability to maintain the member of family healthy
  • the community health center, the integrated health post, and the health personnel in village should work base on the family health. It means those entities have close relationship to the every family in their working area. The information system should be developed and implemented base on the health status of family. As a result, the health personnel know exactly condition every family. We should rename the community health center to the family health center and the integrated health post to the family health post.
  • the promotion, the prevention and curative program base on the family needs. Subsequently, the health program could solve the health problem that lead to the healthy family and then healthy village.
  • Activity of the health personnel have to in the family level, therefore they have to enough facility to reach the family such as: transportation vehicle, supply, promotion aid, audiovisual aid and operational budget.
  • converse the pyramid health budget; the family health allocation must get the biggest proportion of the budget. The biggest proportion health budget have to allocate to the family health in the village level. So, the best concept in FBHA could work effectively.

To make clear the concept of the FBHA, we develop the flow chart that explain the role of the government and health entities in every level of administration. We can see the process of development how the Healthy Indonesia could be achieved in 2020.

gbr.jpg

VII Conclusions

The CBHP has been conducting for more than 30 years in Indonesia. It seems that the CBHP does not work effectively since it faces some barriers that are described above. In the future, we should introduce a new concept of self help and self reliance in development of people health. The FBHP is the concept of health development that focus on the family health. The FBHP base on the family member as health cadre that could be sustainable in running the health program in household level. The FBHP base on the functional or process approach.


Oleh : Dr. Drg. Yaslis Ilyas, MPH, HIA, MHP

Bincang-Bincang Kesehatan Masyarakat

Rubrik ini merupakan tempat kita berbagi opini, pengalaman, komentar atau apapun pendapat anda tentang masalah pelayanan kesehatan kita. Mari kita saling sharing untuk menajamkan kompetensi untuk dapat memberikan kontribusi memecahkan solusi pelayanan kesehatan Indonesia

Pengalaman pelayanan rawat inap; Biaya V.I.P, layanan sub-standar

Aku adalah penderita penyakit sinusitis kronis. Selama bertahun–tahun penyakit ini menjadi bagian dari kehidupan aku. Dokter ahli THT mengatakan penyebab penyakit ini adalah adanya faktor alergi aku terhadap debu. Ketika aku mempunyai kesempatan berlajar di Amerika tahun 1985 pernah dilakukan pengobatan untuk membentuk antigen terhadap debu dengan disuntikan cairan yang mengandung debu selama 14 kali. Pengobatan ini sedikit membantu dan lebih membaik ketika aku melakukan jogging 2 hari sekali secara teratur. Kembali ke Indonesia, tahun 1986, kebiasaan jogging terus aku pertahankan. Secara umum kesehatanku sangat baik, yang jadi masalah adalah alergi terhadap debu yang berakibat radang kronik pada sinus. Dengan kondisi fisik yang baik dan umur relatif masih muda masalah ini tidak menimbulkan problem berarti. Masalah ini mulai sangat mengganggu ketika aku telah berumur 47 tahun, walaupun aku tetap jogging secara teratur. Hidungku tetap meler, mampet, dan bersin-bersin terutama pada pagi hari, seterusnya berlanjut radang tenggorakan. Penyakit ini kambuh rata-rata 2 kali dalam sebulan; betul-betul sudah mengganggu kerja sehari-hari sebagai dosen di perguruan tinggi. Dokter ahli THT, kebetulan teman, menganjurkan untuk dilakukan operasi. Dia mengatakan operasi ini aman dan menggunakan teknologi dan alat yang jauh lebih baik sehingga tidak menimbulkan luka yang berarti. Memang, operasi akan mengambil jaringan lunak yang selalu meradang dan mengambil sebagian tulang hidung yang katanya.bengkok. Walaupun demikian, tindakan operasi selalu menimbulkan rasa takut terhadap kemungkinan sakit dan komplikasi. Bagaimanapun juga operasi sinusitis ini memerlukan bius total yang dapat menimbulkan efek samping, Setelah berunding dengan keluarga aku memutuskan untuk menerima saran dokter THT yaitu operasi sinus. Karena aku PNS dengan pangkat golongan IV A, aku dapat dirawat di ruang VIP RS pemerintah di Jakarta, tetapi sekamar harus berdua. Untuk membuat rasa nyaman pada keluarga, aku memutuskan untuk di rawat diruang VIP sendiri; walaupun untuk itu saya harus menambah biaya ruang rawat inap sebesar Rp 250.000,- per hari pada tahun 1998.Dua hari, sebelum di rawat inap aku menjalankan pemeriksaan fisik dan laboratorium lengkap. Dokter ahli penyakit dalam mengatakan bahwa ada pelemakan pada hati saya. Hasil pemeriksaan darah juga terlihat SGOT dan SGPT saya relatif tinggi, kemudian dokter mengusulkan untuk pemeriksaan ulang, hasilnya tetap sama. Dokter mengatakan kondisi umum fisik aku baik dan tetap aman untuk dilakukan operasi, tetapi akan digunakan obat anesthesi yang tidak berefek negatif terhadap fungsi hati. Satu hari sebelum operasi, saya diminta untuk masuk ruang rawat inap pada jam 9.00 pagi hari. Dengan persiapan mental dan pasrah aku masuk rumah sakit dengan membawa sejumlah majalah, buku dan alqur’an sebagai bekal untuk membaca dirumah sakit. Aku diantar oleh istri, kemudian ditinggal sendiri di rumah sakit karena istri harus mengantar anak kesekolah. Dikamar VIP seorang diri, aku habiskan waktu dengan membaca, tidak terasa waktu telah jam 13.00 siang, kemudian aku sholat zuhur. Problem pertama yang aku hadapi adalah kelaparan diruang VIP RS. Pada siang itu perut ku sudah terasa lapar, karena kebiasaan sarapan hanya sekerat roti dan segelas susu. Setelah aku tunggu lebih dari satu jam, tampaknya hari pertama tinggal di ruang VIP tidak dapat makan siang. Aku juga sempat berpikir: “Barangkali tidak ada layanan makan siang untuk pasien pada hari pertama”? Tetapi masa iya sih, aku bayar tambahan untuk kamar ini cukup mahal, ditambah lagi tentunya yang dibayar asuransi kesehatan. Kenyataannya, sampai perutku kelaparan makan siang belum juga nongol. Aku mengambil keputusan untuk makan dikantin RS, kemudian aku berganti pakaian dan berjalan keluar melewati ruang kerja perawat (nurse station). Tiba-tiba seorang perawat menegur ku : “Dok-dok mau kemana? Aku menjawab: Aku lapar ingin mencari makan di kantin. Perlu saya sampaikan saya seorang dokter gigi dan para perawat semua tahu saya karena didaftar pasien tertulis nama dan profesi aku. Mengetahui aku kelaparan, barulah para perawat agak bingung dan meminta maaf terlambatnya bagian gizi mengantar makanan. Tampaknya bagian gizi belum dapat informasi bahwa ada pasien baru di ruang VIP. Ini merupakan persoalan sepele yang dapat diatasi bila saja bagian penerimaan pasien, perawat ruang VIP dan bagian Gizi melakukan koordinasi baik. Terasa cukup lucu, pasien diruang very importan person RS bisa kelaparan, aneh tetapi nyata. Yang lebih lucu, besoknya saya harus operasi dan diperintahkan untuk berpuasa, eeh pagi-pagi diantarkan sarapan pagi. Tetapi lumayan juga untuk dimakan oleh istri yang setia menunggu saya di rumah sakit. Problem kedua terjadi setelah operasi dilakukan dengan sukses. Aku siuman diruang rawat rawat inap kembali dengan tangan dipasang infus dan untuk buang air kecil dipasang kateter. Post –operasi aku tidak merasakan sakit sama sekali hanya kesulitan bernafas karena adanya gumpalan darah pernafasan. Untuk melancarkan pernafasan tersedia alat suction. Aku ajarkan istriku bagaimana menggunakan alat tersebut. Istriku bukanlah perawat, tetapi dengan kesabaran dan rasa kasih dan sayang terhadap suami dia dapat melakukan penyedotan cairan darah yang menyumbat pernafasan dengan baik. Aku katakan : Kamu rasakan dan temukan lokasi cairan dan sedot dengan perlahan-lahan penuh kesabaran. Setelah penyedotan aku kasih tahu untuk membilas slang suction dengan air panas sehingga slang bersihdan tidak tersumbat. Hampir seluruh kebutuhan pribadiku makan, minum, dan buang air besar saya dibantu oleh istriku yang setia merawatku di rumah sakit (terima kasih banget untuk istriku). Setiap malam dia ikhlas aku bangunkan untuk membantu menyedot cairan yang menyumbat hidung sehingga aku tidak dapat bernafas baik. Sebenarnya, sebagai pasien di ruang VIP saya diberikan fasilitas bel untuk memanggil perawat setiap waktu bila dibutuhkan. Telah 3 hari 2 malam istriku berfungsi sebagai perawat sukarela ruang VIP RS. Pada tengah malam ketiga, aku terbangun karena hidung tersumbat dan sulit bernafas. Aku lihat istriku tidur lelap karena kelelahan, aku tidak tega untuk membangunkannya. Untuk kali ini aku mencoba fasilitas bel, yang sebenarnya sarana kemudahan untuk pasien VIP. Saya bel berkali-kali kemudian datanglah seorang perawat, tampaknya masih mengantuk. Perawat ini bertanya: Ada apa dok? Saya menjawab : Tolong suster hidung aku mampet, enggak bisa bernafas. Kemudian suster ini mencari slang, dan menanyakan : Mana pinsetnya ( alat penjepit slang)? Aku menjawab : Dari kemarin juga tidak tersedia pinset. Dengan mimik yang kurang senang dan gerakan jari tangan yang enggan, dia mengambil slang suction dan memasukkan kelobang hidungku. Ketika, dia mengerjakan ini, terasa tidak sabaran dengan selalu mengatakan sudah dok, sudah dok tiada henti. Aku menjadi mangkel, walaupun belum bersih total aku katakan sudah cukup. Aku hanya bertanya dalam hati : Beginikah mutu layanan perawat di ruang VIP? Melayani tanpa hati? Melayani tanpa kasih? Sungguh jauh dari harapan pasien. Suatu hal yang aku sadari bahwa seseorang dapat mengerjakan lebih baik walau tidak punya pengalaman sekalipun bila disertai rasa kasih dan empati. Sangat sulit ditemui di Indonesia, perawat profesional berkerja dengan baik sehingga memberikan kepuasan pasien. Sebagai pasien kita berharap agar dilayani dengan baik. Mestinya, keunggulan yang perlu diperioritaskan oleh RS kita adalah kualitas pelayanan SDM karena ini biaya lebih murah dan mungkin dilakukan. Aku punya kiat, setiap personel rumah sakit seharusnya berkerja dengan falsafah : Melayani.., melayani.., melayani.., apology, happy, dan empathy. Semestinya inilah merupakan mantera atau zikir personel kesehatan yang akan memberikan pelayanan lebih dari yang diharapkan pasien. Dengan kata lain inilah merupakan kunci dasar pelayanan prima di rumah sakit.


Oleh : Dr. Drg. Yaslis Ilyas, MPH

5 konsep Kewiraswastaan

Awal bulan Mei, 2008 aku diundang oleh Dinas Koperasi Propinsi Kepulauan Riau untuk menjadi fasilitator pada traning dengan topik kewiraswastaan. Peserta pelatihan cukup bervariasi mulai dari pengurus koperasi, anggota PKK propinsi, Manager koperasi dan pegawai Dinas Koperasi dan Usaha kecil dan Menengah. Pelatihan berlangsung selama 2 hari di Tanjung Pinang Pulau Bintan.

Apakah kewirawastaan itu? Adalah kapasitas seseorang untuk menciptakan dan merebut peluang dan membuatnya jadi uang. Suatu definisi yang sederhana, bukan?

Pada pelatihan itu, aku menyampaikan 5 konsep kewiraswastaan yang aku kembangkan yaitu: 1) Cinakan dirimu; 2) Balitakan Dirimu; 3) Buang Khobilmu; 4) Temukan kekuatan mu; dan 5) Merdekan dirimu

Pertama, Cinakan dirimu adalah suatu konsep bagaimana calon wirausaha harus meng adopsi sikap dan perilaku baik dari saudara kita etnis cina seperti: tekun, gigih, ulet, pantang menyerah, hemat, dll yang mendukung suatu usaha. Kedua, balitakan dirimu adalah menempatkan kita pada posisi saat kita berumur dibawah lima tahun. Setiap anak balita yang sehat selalu kreatif dan inovatif karena tidak mengenal kata takut dan ragu. Cobalah perhatikan betapa anak balita begitu cerdas dan kreatif karena mereka bebas dari rasa takut dibilang bodoh, stupid idea, tidak diterima, ditertawakan dll. Konsep ini mendorong setiap wirausaha untuk kreatif dan menghilangkan soka kata tidak bisa, tidak mungkin, jangan ini dan jangan itu. Ciptakanlah ide, produk atau jasa baru yang unik menjadi demand masyarakat. Ketiga, hilangkan khobilmu, sebenarnya kita keturunan nabi Adam dari garis keturunan Khobil yang membunuh saudaranya bernama Habil karena cemburu dan dengki karena Habil dijodohkan dengan saudari wanita yang cantik sedangkan dia dijodohkan dengan saudari wanita yang tidak cantik. Apa artinya ini? Kita umat manusia adalah keturunan Khobil yang mempunyai penyakit hati yang telah tertanam di gen kita. Jadi, jangan heran banyak diantara kita saling iri dan dengki terhadap sesama teman bisnis. Kalau kita ingin maju menjadi pengusaha seharusnya kita harus senang, memuji dan mendukung keberhasilan teman. Rangkul, dekati, bergaul dan pelajari kesuksesan teman. Sering kita mendengar pomeo: Senang lihat orang susah, susah lihat orang senang. Seharusnya, rangkul, dekati, bergaul dan pelajari kesuksesan teman. Dengan demikian, kalau ingin jadi pengusaha yang sukses bergaulah dengan pengusaha2 sukses juga. Ke empat, temukan strength mu adalah bagaimana mengetahui dan memahami kekuatan kita secara baik. Kenali potensi anda dengan baik pengetahuan, ketrampilan, dan perilaku terbaik anda. Apakah hobi anda? Bagaimana lingkungan pergaulan anda? Siapa teman dan kerabat anda? Berapa banyak kapital anda? semua ini akan menentukan kemana anda melangkah untuk memulai usaha anda. Terakhir, merdekan diri mu adalah setiap pengusaha harus memerdekan dirinya dari premis tidak mungkin, semua pasti mungkin bila anda benar2 mengusahakan dengan sangat keras dan cerdas. Sebagai contoh: bagaimana usaha Thomas A Edison menemukan lampu pijar yang mengalami kegagalan ratusan mungkin ribuan kali. Tidak terbayangkan kalau lampu pijar belum ditemukan mungkin dunia masih gelap gulita. Disamping itu, konsep ini juga mengandung pesan bila sudah berhasil; anda harus memerdekan diri dari penjara pekerjaan, kesuksesan, uang, hedonisme dan perilaku buruk yang mengiringi kesuksesan. Bagaimana pembaca sependapat dengan 5 konsep kewiraswastaan aku?


Oleh : Dr. Drg. Yaslis Ilyas, MPH, HIA, MHP

Hidup Kembali di Rumah Sakit Penang, Malaysia

Aku punya pengalaman yang menarik setiap pergi ke Medan dalam perjalanan dinas baik mengajar maupun sebagai kosultan atau peneliti. Yang ingin aku mau sharing kali ini pengalaman 2 teman yang menderita sakit dan mendapatkan pelayanan kesehatan di Medan. Teman yang pertama, seorang dokter dan dosen di Universitas Sumatera Utara. Beliau ini menderita sakit dengan gejala sakit perut dan diarea berdarah. Berobat dan dirawat inap lah dia di RS Pringadi. Sebagai dokter, tentunya dia mendapat semacam privilege dan perhatian yang cukup dari sejumlah Profesor doktor yang merawat beliau.

Para Profesor telah melakukan anamnesa dan pemeriksaan labaoratorium ( darah, faeces dan urine) USG dan endoscopy, tapi Diagnosa belum dapat ditegakkan. Obat antibiotika dan obat lainnya terus juga diberikan tanpa mengurangi penderitaan. Pada kondisi ini, teman aku ini sudah berkali-kali menanyakan apakah Diagnosa penyakit yang dideritanya, tetapi belum juga mendapat jawaban yang jelas. Selalu dijawab dengan gaya Medan: ” Tenanglah kau kita akan bantu dan beri layanan terbaik” Masalahnya apa yang terjadi? Setelah 7 hari rawat, Diagnosa belum juga tegak, penderitaan tidak juga berkurang dan anti biotik terus juga dimakan. Beliau merasa yakin, sebagai dokter, bahwa pengobatan ini akan memperburuk kondisi tubuhnya. Akhirnya pada hari ke 7, beliau meminta paksa pulang dengan alasan akan dirawat di rumah. Tentu saja, para Profesor Doktor yang merawat melarang, tetapi dia memaksa pulang karena tidak yakin lagi dengan pengobatan yang diberikan. Sebenarnya, dia tidaklah pulang, tetapi langsung terbang ke Penang, Malaysia. Sampai di Airport Penang, dia dijemput oleh petugas rumah sakit, kemudian dokter ahli melakukan anamnesa, pemeriksaan fisik dengan USG. Apa yang terjadi? Dokter mengatakan anda menderita Kanker Colon dan untuk memastikan dilakukan Endoscopy kemudian Diagnosa ditegakkan. Pada hari itu dipersiapkan semua hal yang berkaitan dengan tindakan operasi yang akan dilakukan besok harinya. Telah lima tahun dia merasa hidup kembali, sekarang setiap tahun dia tetap mengunjungi RS di Penang tersebut untuk kontrol kesehatannya. Ada pertanyaan yang selalu ada pada benak teman kita ini :”Sebenarnya apa yang dikerjakan para ahli kita di RS kita”? Kita mempunyai alat yang sama juga para ahli dengan gelar Profesor Doktor kenapa Diagnosa tidak dapat ditegakkan dalam kurun waktu 7 hari? Berapa besar resiko finansial, kesehatan, kecacatan dan kematian yang mungkin diderita oleh pasien oleh karena kualitas kerja dokter kita? Anda bisa bayangkan kalau seorang dokter sudah kapok berobat ini merupakan informasi paling bernilai tentang buruknya kualitas kedokteran kita. Teman aku yang kedua adalah Manajer PT Askes. Dia telah menderita sakit yang kronis dengan gejala deman, panas tinggi dan sering buang air besar sampai 6 kali sehari. Pertama, dia di rawat selama 3 minggu di rumah sakit swasta di Medan, tapi tidak ada sama sekali perubahan. Akhirnya, atas nasihat teman beliau berangkatlah ke suatu RS di Penang. Di Rumah sakit pertama dia di anamnesa dan diperiksa kemudian ditegakkan diagnosa Kanker Non Hogkin Lymphopma stadium 4. Yang menarik, dokter Rumah sakit ini mengatakan bahwa dia tidak dapat merawat penyakit bapak, seterusnya dia dirujuk kesuatu rumah sakit yang mempunyai dokter ahli kanker yang dapat menanganinya. Di Rumah sakit rujukan, dokter memeriksa kembali dan memberikan pengobatan Chemo therapy 1 kali. Beliau dirawat selama 8 hari, kemudian dilanjutkan chemo therapy sebanyak 5 kali di rumah saki Medan. Sekarang beliau telah sehat kembali dapat berkerja dengan baik.Apa pelajaran yang dapat kita petik dari pengalaman kedua teman kita ini? Tampaknya keseriusan dokter untuk memeriksa dengan baik, menegakkan diagnosa dalam waktu 24 jam sangatlah penting bagi keselamatan pasien. Yang juga pelajaran penting, kode etik dan kejujuran profesi yang dipegang teguh oleh dokter Penang dengan merujuk pasien kepada ahlinya, karena dia menyadari tidak mampu mengobatan pasien dengan baik. Kedua teman aku itu berkata, rasa ajal telah menjemput di Medan dan hidup kembali di Penang. Kapan ya, dokter ahli kita punya etika dan kejujuran profesi dan kinerja seperti sejawat mereka di negeri jiran? Wallahu Alam Bishawat


Oleh : Dr. Drg. Yaslis Ilyas, MPH, HIA, MHP, AAK

Apakah Penjamin Sukses Hidup Anda?

Sering kita bertanya kenapa seseorang sukses sedangkan sebagian besar lainnya gagal dalam meniti dan mengembangkan kehidupan mereka. Dengan kata, lain ada segelintir pemenang, tapi begitu banyak yang menjadi pecundang. Walaupun, diantara kedua kelompok individu ini kadang tidak mempunyai tingkat kecerdasan yang berbeda, Malahan, banyak diantara para pecundang mempunyai tingkat kecerdasan yang tinggi.

Tentunya, ada sejumlah faktor baik internal maupun eksternal individu yang mempengaruhi seseorang sukses dalam kehidupannya. Yang menarik seorang sahabat berpendapat bahwa sukses itu adalah kaya finansial dan spritual. Menurutnya, ketika muda kita harus bekerja keras dan cerdas sehingga sukses secara finansial, tetapi itu saja tidak cukup seiring dengan bertambahnya umur kita juga harus memperkaya aspek spritual sehingga siap dan ikhlas memasuki kehidupan kedua setelah meninggalkan dunia yang fana ini. Situasi filosofi hidup yang menarik bukan?

Pertanyaanya adalah apakah fakor penentu penjamin sukses kehidupan itu? Apakah itu yaitu: kompeten, terus belajar, jujur, penuhi janji, pelihara malu mu, pelihara mata mu, dan pelihara tangan mu

Pertama, kompeten atau kecakapan; artinya kemampuan seseorang untuk menghasilkan barang atau jasa sesuai dengan tuntutan tugas dan tanggung jawabnya. Kompetensi adalah hal yang mendasari seorang dapat berkerja lebih unggul dari yang lain seperti: keahlian, konsep diri, nilai-nilai dan motif. Kompetensi adalah merujuk kepada: individu itu menghasilkan apa bukanlah apa yang mungkin dapat dilakukannya.

Kedua, Untuk dapat tetap memelihara kompetensi sehingga pas dengan kebutuhan tugas dan tantangan kerja; seseorang harus terus belajar. Setiap pemenang adalah pecinta pengetahuan dan giat mempeljari teknologi baru untuk terus meningkatkan kompetensinya. Seseorang pemenang tidak pernah gatek terhadap teknologi baru; dia akan berkerja sangat keras sehingga orang yang paling dulu mengusai keahlian tersebut di lingkungan kerjanya. Malahan mereka berkreasi dan berinovasi untuk menghasilkan cara dan teknik kerja baru sehingga selalu berdiri didepan sebelum kendala kerja tiba,

Ketiga, seorang yang sukses haruslah jujur dalam berkerja, terutama pada situasi kerja maupun bisnis di negeri dimana kejujuran menjadi langka. Mengadopsi sikap tidak munafik, tidak berdusta, tidak jahil dan tidak zalim baik pada diri sendiri, maupun kepada orang lain bukanlah suatu usaha yang mudah. Dia harus mampu bersikap beda dari kebanyakan orang yang bersikap dan bertindak dengan menggunaan segala cara untuk memenuhi keinginannya Sering kita mendengar ucapan: Cari uang haram saja sudah susah apalagi uang halal. Memang, menjadi jujur dalam komunitas yang koruptif memerlukan mental yang kuat, tegar dan siap hidup sederhana untuk mempertahakan visi hidup yang diadopsi. Suatu ketika, penulis sempat bicara ringan dengan sahabat, seorang pedagang, di mesjid setelah mengerjakan sholat magrib. Kenapa dia tidak mau berhubungan bisnis dengan pemerintah? Dia menjawab bisnis dengan pemerintah banyak potongannya. Yang dia maksud adalah tidak sanggup harus membayar kickback yang dipercayainya menodai sikap jujur dalam mencari kehidupan. Dia takut uang yang dihasilkan nilainya menjadi subhat atau kemungkinan haram. Alhamdulillah, teman tersebut hidup berkecukupan, aman dan nyaman hidupnya. Dia menambahkan tidak pernah takut menerima telpon dari pihak manapun. Sekarang, banyak orang takut terima telpon karena kemungkinan berasal dari polisi, jaksa dan petugas Komisi Pemberantasan Korupsi. Kita ketahui , saat ini sekitar 10% dari Bupati dan Wali kota di Indonesia telah ditangkap diantaranya: Bupati Kutai Kertanegara, Padang Pariaman, Sintang, Pidie, Tasikmalaya, Kepulauan Sula, Maluku Utara dan lainnya sudah menjadi terhukum karena tindak korupsi dan telah mendekam di penjara. Suatu jejak karier yang sangat mengenaskan dan penderitaan sampai akhir hayat baik bagi pelaku maupun keluarganya.

Ke empat, seorang yang sukes dapat dipercaya karena dia selalu berusaha penuhi janji. Konsep saling percaya selalu dipegang dan dkembangkan dalam berinteraksi dengan pihak lain. Sikap ini membuat setiap teman kerja maupun bisnis merasa aman untuk terus kerja sama saling menguntungkan. Dengan kata lain, selalu amanah bila diberi kepercayaan dan berusaha sekeras mungkin untuk memenuhi janji walaupun banyak kendala yang dilalui dan kenyamanan yang terpaksa ditinggalkan.

Ke lima, pelihara malu mu ini adalah godaan yang tidak mudah dihindari dari mereka yang telah meraih sukses kehidupan dunia. Betapa banyak, pejabat negeri baik eksekutIf maupun legislatif ini yang jatuh tersungkur dalam jurang kehinaan karena tidak dapat menjaga nafsu hedonisme kehidupan seksualnya. Suatu saat sebuah Media Elektronik; memberitakan komentar anggota DPR RI Permadi SH bahwa perilaku penyimpangan seks oleh anggota dewan adalah sesuatu yang biasa. Dia menyatakan: ”Tanyakan saja kepada cleaning service betapa banyak kondom di temukan di tempat sampah anggota Dewan yang terhormat”. Persoalannya, bagaimana perilaku seksual menyimpang diluar gedung DPR RI yang terhormat itu? Selanjutnya, bagaimana perilaku seks pejabat eksekutif pemerintah maupus swasta? Bagaimana moral sosial masyarakat dapat dibangun kalau negeri ini dipimpin oleh pejabat yang tidak dapat menjaga kemaluan mereka? Kita masih ingat betapa Gubernur New York mengundurkan diri karena ketahuan selingkuh dengan wanita pekerja seks. Karena dia malu dan rakyat tidak percaya lagi terhadap kepemimpinannya. Kalau pemimpin Jepang mungkin telah harakiri, tetapi pemimpin kita sibuk dengan defence mechanisme denga seribu satu alasan yang tidak masuk akal.

Ke enam, pelihara mata mu adalah suatu yang tidak mudah untuk dilakukan. Pandangan yang akan merusak pikiran dan hati yang dapat mendrong setipa orang untuk berbuat diluar kontrol superegonya. Dalam situasi dan kondisi saat ini betapa sulitnya memejamkan mata dari godaan yang sangat menantang dan mengundang setiap saat secara telanjang berdiri dideapan kita. Di mal, di jalan, di sekolah dan kampus begitu besar godaan untuk setiap orang terjerat karena sulitnya menjaga mata untuk menghindar dari godaaan yang menyenangkan dan mendebarkan hati ini. Ditambah lagi, media elektronik TV dan Internet terbuka luas untuk melihat gambar dan filem porno yang setiap saat dapat kita akses kalau mau. Memang hidup dalam dunia moderen ini akan jauh lebih sulit menjaga diri dari perbuatan zina seperti salah satu bait lagu yang dinyanyikan oleh pendangdut kondang Rhoma Irama : Kenapa yang enak-enak itu dilarang? Jawabnya akan menjatuhkan martabat mu lebih hina dari binatang sekalipun.

Terakhir, pelihara tangan mu dari yang bukan menjadi hakmu. Tidak mengambil yang bukan hak adalah perbuatan mulia yang juga sudah langka di negeri ini. Sering aku mendengar komentar sejumlah mahasiwa dengan bercanda mengatakan sence of belonging bangsa kita terlalu tinggi. Banyak asset rumah sakit mula-mula dipinjam kemudian tidak pernah dipulangkan akhirnya menjadi milik sendiri. Tindakan ini dilakukan oleh pimpinan dan tentunya menjadi teladan yang buruk untuk bawahannya yang kemudian melakukan hal yang sama, Saya kira perilaku ini terjadi di hampir seluruh instansi pemerintah, BUMN, BUMD bahkan mungkin terjadi juga instiusi swasta sekalipun.

Andaikata, kita dapat memelihara ketujuh sikap dan perilaku hidup ini akan lahir pemimpin hebat negeri ini dan akan jayalah negeri ku dan bangkitlah negeri ku setelah 100 tahun masih terpuruk dan belum juga ada titik terang didepan kita. Apakah kita bisa berpikir dan bertindak positif merajut masa depan bangsa ini?


Oleh : Dr. Drg. Yaslis Ilyas,MPH, HIA, MHP, AAK

PEDOMAN SOFTWARE HITUNG SDM METODA ILYAS

1. Kenapa Sofware ini dibutuhkan?

Menghitug kebutuhan SDM organisasi yang padat karya merupakan suatu hal yang penting tapi sekaligus juga sangat sulit. Banyak para manager SDM maupun manager Divisi, Bagian dan Unit kesulitan ketika ditanya: “Berapakah jumlah SDM yang dibutuhkan untuk menghasilkan target produk atau jasa di unit saudara”?. Untuk menjawab pertanyaan ini Metoda Ilyas memberikan alternatif solusi yang tepat, akurat dan mudah diterapkan. Metoda ini dapat menghitung kebutuhan SDM dengan cepat dengan tingkat akurasi yang tinggi sehingga menghasilkan informasi yang dapat dipercaya untuk pengambilan keputusan manajemen.

2. Apakah dasar pemikiran menghitung SDM?

Dasar pemikiran penghitungan SDM adalah kemampuan seorang manajer menghitung dengan tepat beban kerja organisasi untuk mencapai target ditentukan. Ada beberapa metoda imiah yang telah dikembangkan para ahli seperti: Work Sampling, Time and Motion Study dan Daily Log tetapi semua metoda mempunyai kelemahan karena tidak mampu memberikan informasi secara cepat, akurat, murah dan dapat digunakan untuk pengambilan keputusan manajemen. Metoda Work Sampling dan Time and Motion Study secara ilmiah bagus dan validitas dan reabilitasnya baik, tetapi kompleks, mahal dan perlu waktu yang lama. Adapun, Daily Log dari aspek validitas dan reabilitas sulit diterima karena tingkat biasnya tinggi.

3. Adakah Opsi lain menghitung SDM?

Metoda Ilyas memberikan solusi terbaik untuk menghitung kebutuhan SDM organisasi dengan mudah, murah, cepat dan tepat. Secara ilmiah hasil perhitungan kebutuhan SDM dengan Metoda Ilyas memiliki tingkat validitas dan reabilitas yang tinggi dan telah diuji coba baik oleh sejumlah institusi dengan hasil yang dapat dipercaya oleh manajemen organisasi. Disamping itu, Metoda Ilyas juga digunakan oleh sejumlah mahasiswa Pascasarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia sebagai metoda menghitung SDM dalam Tesis mereka untuk meraih gelar Master Ilmu Kesehatan Masyarakat dan Master Administrasi Rumah Sakit.

4. Apakah Dasar Pemikiran Metoda Ilyas?

Kebutuhan SDM dasarnya adalah mengetahui secara benar beban kerja setiap unit atau setiap SDM di organisasi. Untuk mengetahui beban kerja organisasi dibutuhkan sejumlah data dan informasi yang akurat yang berasal dari personel ahli atau kompeten di organisasi itu sendiri yang telah melakukan transaksi bisnis ribuan kali sehingga dengan tepat dapat mengetahui jenis, jumlah dan waktu kerja yang dibutuhkan. Sebagai contoh: seorang ahli teknologi informasi mempunyai sejumlah transaksi bisnis setiap hari seperti: membuat program selama 2,5 jam per hari dan membutuhkan waktu 45 menit menangani setiap komplain konsumen dan sejumlah transaksi bisnis lainnya. Dengan diketahui jeni, jumla dan waktu transaksi maka akan diketahui bebean kerja per hari.

5. Apakah komponen Metoda Ilyas?

Untuk menghitung kebutuhan SDM organisasi dibutuhkan informasi yang akurat tentang hal berikut:

a. Kejelasan transaksi bisnis setiap SDM

b. Kejelasan waktu yang dibutuhkan untuk setiap transaksi bisnis SDM

c. Jenis dan jumlah transaksi bisnis per hari, per minggu, per bulan atau per tahun

d. Jumlah jam kerja efektif per hari setiap SDM di organisasi

e. Jumlah hari kerja efektif dalam setahun organisasi

6. Bagaimana Formula Hitung SDM Metoda Ilyas?

Formula dapat bekerja dengan baik dengan syarat Manager dapat menentukan dengan akurat jenis, jumlah dan waktu transaksi bisnis dan tidak terjadi duplikasi kegiatan. Manager dapat menghitung beban kerja setiap SDM perhari dalam satuan waktu menit atau jam per hari kerja. Dengan mengetahui komponen tersbut dapat dkembangkan formula menghitung SDM per hari sebagai berikut:

Kebutuhan SDM/hari = {(B.K i-j = J T x W.T) :JKE }.

§ B.K i-j = Jenis Beban Kerja

§ J.T. = Jumlah Transaksi per hari

§ W.T.= Waktu yang dibutuhkan untuk setiap jenis Transaksi

§ J.K.E = Jam kerja efektif SDM per hari

Kebutuhan Total SDM/tahun akan dihitung dengan memperhatikan hari kerja efektif pertahun dan diperlukannnya tenaga cadangan pada pola kerja yang menggunakan tiga shift kelompok kerja seperti Satpam, Perawat dan Kasir Rumah sakit.

Contoh perhitungan tenaga perawat: (Contoh: 2 kegiatan)

Σ B.K i-j = T. T x V.T.

Ket: B.K i-j = Beban Kerja memandikan pasien & penyuluhan pasien

T.T. i-j = memandikan pasien = 20’ & penyuluhan pasien = 15’

V.T. i-j = Volume Transaction = 10 pasien

B.K i-j = (20’ x2x 10)+(15 x 10) = 550 menit

Tenaga Perawat Yang Dibutuhkan

Σ Tenaga/hr = Beban kerja : Wkt kerja/hr

Σ Tenaga/hr = 3500 menit : 420‘/hari = 8,3

Σ Tenaga (hr kerja efektif 273)= (8,3)+(92/273×8,3)= 11 + 4 (cadangan)= 15 orang

Σ Tenaga (hr kerja efektif 255)= (8,3)+(110/255×8,3)= 12+4 (cadangan)= 16 orang

Dengan demikian, kunci utama menghitung tenaga adalah kemampuan identifikasi jenis-jenis, jumlah transaksi bisnis, waktu transaksi dan jam kerja produktif pegawai.

Untuk jelasnya dapat dibaca pada petunjuk teknis penggunaan Software Hitung SDM Metoda Ilyas, dengan mengikuti Lokakarya , silahkan lihat kategori training. Terima kasih.


[1] DR.Yaslis Ilyas, DRG. MPH adalah Direktur Yaslis Institute lembaga Training, Workshop, Consultant & Research Human Resource, Health, Hospital, Insurance Management Telp (021)7863478 & Fax (021)7864974 ; HP 081 116 749, email: yaslis­­_ilyas@yahoo.com

Membuat Nusantara Bernyanyi

Kamis, 03 September 2009

Membuat Nusantara Bernyanyi

1. Budaya Kekerasan

Kekerasan dalam kehidupan sosial kita sudah menjadi kejadian sehari-hari. Kekerasan hampir dilakukan oleh semua kelompok umur, tingkat pendidikan, tingkat sosial, gender, pekerjaan dan kelompok lainnya. Kekerasan sosial dari variabel umur tampaknya sudah terjadi pada umur sangat muda dikalangan pelajar sekolah dasar yang berumur antara 7 tahun sampai dengan 12 tahun telah terjadi kekerasan. Sebenarnya, perkelahian diantara pelajar sekolah dasar terutama diantara pelajar putra merupakan sesuatu yang wajar, sepanjang tidak mencederai fisik maupun mental berkelanjutan. Tetapi tingkat kekerasan di sekolah dasar kadang sudah melampaui batas kenakalan anak2. Kita masih ingat perkelahian 2 anak lelaki di Medan yang sampai dibawa ke meja hijau kemudian hakim menjatuhkan hukuman kepada yang dianggap bersalah dan harus masuk penjara padahal dia masih anak2. Hal ini menjadi berita heboh nasional ketika itu. Kekerasan di tingkat sekolah dasar terjadi juga diantara pelajar putri dimana kelompok yang lemah diejek dan dihina oleh sesama temannya. Memori kitapun masih ingat seorang pelajar putri di Bekasi gantung diri karena diejek setiap hari oleh kawannya karena bapaknya pedagang bubur. Ini peristiwa yang sangat mengenaskan dalam kehidupan sosial anak2 kita. Yang lebih parah, kekerasan yang dilakukan oleh guru atau direkayasa oleh guru dilakukan oleh murid2 terhadap ”murid yang dianggap nakal atau tidak disiplin”. Cerita kekerasan guru terhadap murid bisa menjadi novel yang panjang di negeri ini.

Kekerasan dilingkungan pelajar berumur 12 tahun sampai dengan 17 tahun yang duduk dibangku SMP dan SMU tentunya lebih parah lagi. Kekerasan dimulai pada intra sekolah dari kelompok pelajar senior terhadap yunior baik fisik maupun mental. Banyak pelajar yang luka dan takut masuk sekolah karena dipukuli dan diperas oleh seniornya. Yang lebih mengkhawatirkan tawuran pelajar antar sekolah. Tawuran diantara pelajar sudah menggunakan senjata tajam seperti: rantai besi, pisau, bahkan pedang. Tawuran diantara pelajar bukan saja menimbulkan trauma pisik dan mental, tapi juga korban jiwa. Tawuran bukan saja terjadi di kota2 besar, tetapi juga terjadi kota2 kecil. Yang paling mengkhawatirkan kekerasan sudah dilakukan terbuka oleh pelajar putri terhadap pelajar putri lainnya. Mereka telah membuat gang dengan nama yang menyeramkan seperti: gang pelajar putri Nero di kota kecil Pati, Balikpapan, Malang dan kota2 lainnya. Kalau pembaca buka internet di situs You Tube akan terlihat video kekerasan yang dilakukan sekelompok pelajar putri terhadap pelajar putri lainnya. Kekerasan terjadi diantara pelajar putri di sekolah negeri maupun swasta; di sekolah berbasis agama ataupun tidak. Tingkat kekerasan di tingkat pelajar ini sudah sangat mengkuatirkan.

Ada pepatah: Ala bisa karena biasa. Karena sudah terbiasa hidup di lingkungan kekerasaan dari sekolah dasar sampai sekolah menengah umum dan kejuruan; perilaku inipun terbawa pada jenjang pendidikan tinggi. Kekerasan di tingkat mahasiwapun juga semakin memalukan. Kita bisa lihat berita kekerasan mahasiswa baik di media elektronik maupun cetak terjadi dilingkungan kampus diantara kelompok mahasiswa fakultas yang berbeda. Tawuran di kalangan mahasiswa juga terjadi antar kampus hampir di seluruh kota2 besar di Indonesia. Kekerasan di lingkungan kampus yang menjadi breaking news terjadi di IPDN Jawa Barat yang sampai merenggut jiwa berkali-kali. Sampai2, masyarakat menyebut IPDN sebagai Institut Pembunuh Dalam Negeri. Sekolah dan kampus sebagai tempat pencerahan akal budi menjadi kehilangan pamornya, sudah.

Aku kutip sebagian renungan Dorothy law Notle, yang perlu kita renungkan bersama:
Jika anak hidup dalam suasana penuh kritik, ia akan belajar untuk menyalahkan.
Jika anak hidup dalam permusuhan, ia akan belajar berkelahi.
Jika anak hidup dalam ketakutan, ia akan belajar untuk gelisah.
Jika anak hidup dalam belas kasihan diri, ia akan belajar untuk mudah memaafkan dirinya sendiri

Jika anak hidup dalam ejekan, ia akan belajar untuk merasa malu.
Jika anak hidup dalam kecemburuan, ia akan belajar untuk iri hati.
Jika anak hidup dalam rasa malu, ia akan belajar untuk rasa bersalah.
Jika anak hidup dalam semangat dan jiwa besar, ia akan belajar untuk percaya diri

Menyelesaikan konflik dengan otot, marah dan senjata sudah menjadi budaya yang sangat menakutkan. Sekarang, kita lihat perang antar suku, kampung, nagari dan desa sudah terjadi secara terbuka karena memperebutkan batas tanah atau masalah sosial lainnya. Korban jiwa akibat konflik ini sudah sangat banyak. Di kota besar seperti Jakarta, kekerasan di jalan menjadi kejadian sehari-hari. Perkelahian antar pengemudi motor, angkot, bis dan mobil pribadi terjadi setiap saat. Kesemrawutan lalu lintas dan kemacetan jalan membat semua orang stres dan menjadi pemarah. Pelaku pengemudi bak preman jalanan, siapa yang berani dia dapat jalan; akibat sering terjadi serempetan dan tabrakan yang menimbulkan perkelahian, korban luka dan nyawa. Bangsa ini tidak mampu lagi menggunakan kearifan nenek moyang; musyawarah untuk mufakat menyelesaikan masalah diantara mereka. Pepatah: Bulat air karena pembuluh, bulat kata karena mufakat; tidak dikenal apalagi menjadi sikap hidup.

Mari kita lihat lagi kelompok profesi lain juga mempertotonkan kekerasan secara telanjang dimuka publik. Anggota DPR ataupun DPRD yang terhormat berkelahi karena tidak mampu mengendalikan emosi ketika berbeda pendapat. Rakyat sebenarnya, sangat luka atas perilaku wakil kita yang mengedepankan otot, marah jauh dari akal budi. Keputusan bijak apa yang dapat dihasilkan untuk membuat negara ini adil dan makmur bila wakil rakyat berperilaku seperti preman? Yang paling mengerikan adalah kekerasan antar alat negera. Kita sering melihat dan mendengar berita perang antar Polisi dan TNI karena persolan personal. Keributan personal antar anggota korps diselesaikan dengan senjata dengan saling serang yang mengorbankan nyawa sia-sia dengan senjata yang dibeli dari uang pajak rakyat yang sudah menderita.

Sungguh, ibu pertiwi sudah tidak punya air mata lagi untuk meratapi perilaku kekerasan yang terjadi pada anak bangsa hampir diseluruh wilayah nusantara. Apakah masih ada solusi untuk membuat Nusantara Bernyanyi?

2. Apa yang salah dalam pendidikan Kita?

Bagaimana kebijakan pendidikan kita? Selama ini terdapat kecenderungan bahwa kebijakan pendidikan yang mengagungkan kecerdasan (IQ = intelegent Quotient). Ini tampak dengan kebijakan Ujian Akhir Nasional yang Ditetapkan oleh Depdiknas angka kelulusan menjadi indikator satu2nya keberhasilan proses pendidkan. Hal yang terpenting pembentukan karakter atau kepribadian anak dilupakan untuk digarap dengan baik sehingga anak didik dapat menjadi manusia yang ber akal budi lebih baik.

Akibat kebijakan pendidikan ini, Sekolah-sekolah lebih menitikberatkan pada aspek-aspek akademik yang mengarah kepada pengembangan intelektual dibandingkan dengan pengembangan kecerdasan emosional dan spiritual. Indikatornya adalah: (1) jumlah jam dan jenis pelajaran yang berkontribusi untuk pengembangan kecerdasan intelektual lebih banyak; (2) proses pembelajaran termasuk ulangan dan ujian lebih mengarah kepada kemampuan akademik; (3) kejuaraan dan keteladanan siswa lebih bertumpu kepada hal-hal yang bersifat akademik; (4) kriteria kenaikan kelas dan kelulusan lebih dominan pada aspek-aspek akademik.[2]

Dengan tidak cukupnya anak didik mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan kecerdasan emosinya berakibat buruk terhadap karakter atau kepribadiannya. Sebenarnnya, nenek moyang sangat arif dan bijak; kalau saja penguasa Depdiknas kita cukup cerdas seharusnya mereka mengetahui kearifan falsafah : Dasar lebih kuat dari pada ajar. Artinya, peletakan dasar perilaku yang baik di lingkungan rumah, sekolah dan masyarakat sangatlah penting dalam karakter anak bangsa. Seharusnya, Depdiknas dan Dinas Pendidikan Propinsi dan kabupaten/kota membuat instrumen pendidikan yang memberikan peluang anak didik untuk meningkatkan EQ mereka.

Emotional Quotient (EQ) yaitu: kemampuan untuk mengenali emosi diri; kemampuan untuk mengelola dan mengexpresikan emosi dengan tepat; kemampuan untuk memotivasi diri; kemanpuan untuk mengenal orang lain dan kemampuan untuk membina hubungan dengan orang lain.[3]

Sukses seseorang tidak hanya ditentukan oleh IQ, tetapi banyak dipengaruhi faktor lain salah satunya adalah EQ. Daniel Goleman berpendapat bahwa IQ hanya menyumbangkan 20% terhadap keberhasilan seseorang, selebihnya ditentukan oleh faktor-faktor lain dimana EQ termasuk di dalamnya. Didalam dunia kerja : IQ gets you hired, but EQ gets you promoted.

3. Bagaimana meningkatkan EQ?

Pada dasarnya EQ dapat ditingkatkan bila ada rekayasa sosial yang ditujukan pada perkembangan anak sejak dini. Kekerasan terhadap anak balita oleh orang dewasa di rumah harus dicegah dan dihukum sesuai dengan Undang2 yang berlaku. Anak Balita harus mendapat kasih sayang dari ibu dan ayah secara wajar. Pendidikan pra sekolah perlu terus dikembangkan sehingg anak balita tumbuh sehat jasmani dan rohaninya. Mungkin, mata ajar budi pekerti di sekolah perlu diberikan kembali.

EQ dapat ditingkatkan dengan memberikan kesempatan pada anak didik untuk mempelajari dan menekuni kesenian (Art) bisa: seni tari, seni suara, seni patung, musik, seni peran, seni lukis dan seni bela diri. Semua ketrampilan di bidang seni membutuhkan ketekunan, persistensi dan fokus terus berlatih sampai mahir. Untuk dapat trampil dibidang seni perlu tingkat kesabaran yang tinggi, selama bertahun-tahun. Sebagai contoh: untuk dapat menjadi penari Bali yang mahir dibutuhkan waktu yang panjang tanpa mengenal lelah dan dilakukan dengan suka cita. Anak didik dengan EQ yang tinggi menjadi manusia dengan karakter yang baik sepert : sabar, kreatif dan lentur. Disamping itu, mereka akan dapat mudah adaptif dengan perubahan dan mudah berkerja sama. Secara paralel, anak didik dengan EQ tinggi juga mempunyai etika sosial yang baik sehingga dapat menciptakan kehidupan yang harmonis dilingkunagan rumah, sekolah dan masyarakat.

4. Membuat Nusantara Bernyanyi

Kebanyakan orang mengatakan pendidikan seni itu mahal sehingga tidak menjadi prioritas gerakan nasional dalam rangka peningkatan EQ anak didik. Sebenarnya, tidak juga apabila kita cukup cerdas memilih pendidikan kesenian yang dapat dilakukan diseluruh sekolah di Indonesia. Saya selalu menyampaikan ide : Nusantara Bernyanyi pada setiap kesempatan baik formal maupun informal di kampus, pimpinan, propinsi, kabupaten atau siapapun sehingga ide ini dapat bergulir dengan harapan menjadi bola salju raksasa di masa depan.

Ide ini sangat sederhana dengan mengajarkan anak didik kita setiap tingkat sekolah dasar sampai menengah belajar bernyanyi dan bersuling ria. Kenapa suling dan bernyanyi? Karena suling sangat murah dan bisa juga dibuat sendiri. Di setiap desa di Indonesia ini ada bambu sebagai bahan baku suling. Adapun, guru seni suling dapat dicari pemuda atau pemudi desa yang mahir meniup suling dan bernyanyi. Mudah dan murah bukan?

Bagaimana praktiknya di sekolah? Setiap anak berlatih suling setiap minggu 2 jam mata ajar seni suling dan bernyanyi. Untuk naik kelas anak didik harus dapat bermain suling dan bernyanyi sebanyak 10 lagu. Artinya, mereka belajar dari berlatih 1 lagu untuk setiap bulan. Nilai untuk mata ajara ekstra kurikuler ini hanya A untuk yang bagus sekali dan B untuk yang baik. Dengan demikian, tamat sekolah dasar minimal mereka mahir 60 puluh lagu anak2 yang sesuai dengan perkembangan jiwa mereka. Anak didik yang lulus SMU akan mahir 120 buah lagi. Adapun, anak didik yang punya talenta akan berkembang dengan sendirinya.

Dinas Pendidikan dapat membuat lomba lagu tingkat kabupaten setiap tahun sehingga tercipta sejumlah lagu yang dapat digunakan sebagi pengajaran disekolah. Lagu2 ini bisa berbahasa daerah ataupun bahasa Indonesia; bisa bernafaskan budaya daerah dan religi agama. Pada tingkat propinsi, setiap tahun juga diadakan lomba cipta lagu yang bercirikan daerah asing2. Selanjutnya, tingkat nasional Depdiknas melakukan lomba cipta lagu setiap satu atau dua tahun untuk mendorong membuat lagu anak didik yang bernafaskan nusantara. Anda, bisa bayangkan berapa ribu lagu dapat diciptakan dan dimainkan oleh anak didik di seluruh Indonesia. Inilah yang saya sebut membuat Nusantara Bernyanyi.

Disamping, terjadi peningkatan jumlah dan mutu lagu anak dan remaja yang pas dengan kebutuhan perkembangan jiwa mereka, diharapkan juga peningkatan kualitas bambu sebagai bahan dasar alat musik. Bambu tidak saja dibuat untuk suling dan angklung, juga dapat dikembangkan inovasi membuat alat musik baru dari bambu. Di Equador, sebuah negara di Amerika Selatan, bambu dibuat alat musik yang dapat menghasilkan bunyi yang bervariatif dan menghasilkan suara musik yang menakjudkan mereka menyebutnya : Pan Flute. Alat musik seperti ini bukan tidak mungkin bisa diciptakan oleh pemuda/i Indonesia di masa depan.

Kalau saja gerakan itu dilaksanakan dengan baik kurun wakktu 5 s/d 10 tahun sudah dapat diharapkan terjadi peningkatan terhadap EQ anak didik kita. Hanya mereka yang menanam saja, yang akan menuai panen. Gerakan Nuantara Bernyanyi akan berpengaruh terhadap kualitas EQ anak didik dengan ciri2 mempunyai karakter pribadi sbb:

· empaty

· mengungkapkan dan memahami perasaan

· mengendalikan amarah

· kemandirian

· kemampuan menyesuaikan diri

· disukai

· kemampuan memecahkan masalah antar pribadi

· ketekunan

· kesetiakawanan

· keramahan

· sikap hormat

5. Penutup

Mudah2an ide membuat Nusantara bernyanyi yang sederhana, murah dan mudah dilaksanakan, dapat diadopsi oleh para pengambil keputusan baik di tingkat sekolah, Kantor Dinas Pendidikan kecamatan/ Kabupaten/Kota, Propinsi dan nasional Depdiknas.

Personnel Planning Workshop and Software

Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden telah berlangsung aman dan dengan baik. Selanjutnya, tahun 2009 ini kita menghadapi tantangan yang lebih berat dan juga peluang yang besar untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas produk dan jasa dari perusahaan/ organisasi kita.

Untuk itu, kami informasikan bahwa PRIDE YASLIS INSTITUTE suatu lembaga jasa Training, Workshop, Consultant & Research Human Resource, Health, Hospital, Insurance Management akan mengadakan lokakarya :

Personnel Planning Workshop and Software

(Hotel Santika Premiere, Jakarta, Tgl 10 s/d 11 September 2009)

Bagi Bapak/Ibu yang berminat, segera mendaftarkan diri. Untuk informasi lebih lengkapnya,

Bapak/Ibu dapat menghubungi Contact Person: Sdr Agung: 021 7888 6512 & 8531 5589 & HP: 0818 754 252. email: ptyconsultingindo@gmail.com

Demikian pemberitahuan ini kami sampaikan, atas perhatiannya kami ucapkan terimakasih.