Yaslis Institute

We serve you better. We provide all you need in training, workshop, consultant and research human resource, health, hospital, insurance.

Membuat Nusantara Bernyanyi

Senin, 20 Desember 2010

Yaslis Ilyas[1]

1. Budaya Kekerasan
Kekerasan dalam kehidupan sosial kita sudah menjadi kejadian sehari-hari. Kekerasan hampir dilakukan oleh semua kelompok umur, tingkat pendidikan, tingkat sosial, gender, pekerjaan dan kelompok lainnya. Kekerasan sosial dari variabel umur tampaknya sudah terjadi pada umur sangat muda dikalangan pelajar sekolah dasar yang berumur antara 7 tahun sampai dengan 12 tahun telah terjadi kekerasan. Sebenarnya, perkelahian diantara pelajar sekolah dasar terutama diantara pelajar putra merupakan sesuatu yang wajar, sepanjang tidak mencederai fisik maupun mental berkelanjutan. Tetapi tingkat kekerasan di sekolah dasar kadang sudah melampaui batas kenakalan anak2. Kita masih ingat perkelahian 2 anak lelaki di Medan yang sampai dibawa ke meja hijau kemudian hakim menjatuhkan hukuman kepada yang dianggap bersalah dan harus masuk penjara padahal dia masih anak2. Hal ini menjadi berita heboh nasional ketika itu. Kekerasan di tingkat sekolah dasar terjadi juga diantara pelajar putri dimana kelompok yang lemah diejek dan dihina oleh sesama temannya. Memori kitapun masih ingat seorang pelajar putri di Bekasi gantung diri karena diejek setiap hari oleh kawannya karena bapaknya pedagang bubur. Ini peristiwa yang sangat mengenaskan dalam kehidupan sosial anak2 kita. Yang lebih parah, kekerasan yang dilakukan oleh guru atau direkayasa oleh guru dilakukan oleh murid2 terhadap ”murid yang dianggap nakal atau tidak disiplin”. Cerita kekerasan guru terhadap murid bisa menjadi novel yang panjang di negeri ini.

Kekerasan dilingkungan pelajar berumur 12 tahun sampai dengan 17 tahun yang duduk dibangku SMP dan SMU tentunya lebih parah lagi. Kekerasan dimulai pada intra sekolah dari kelompok pelajar senior terhadap yunior baik fisik maupun mental. Banyak pelajar yang luka dan takut masuk sekolah karena dipukuli dan diperas oleh seniornya. Yang lebih mengkhawatirkan tawuran pelajar antar sekolah. Tawuran diantara pelajar sudah menggunakan senjata tajam seperti: rantai besi, pisau, bahkan pedang. Tawuran diantara pelajar bukan saja menimbulkan trauma pisik dan mental, tapi juga korban jiwa. Tawuran bukan saja terjadi di kota2 besar, tetapi juga terjadi kota2 kecil. Yang paling mengkhawatirkan kekerasan sudah dilakukan terbuka oleh pelajar putri terhadap pelajar putri lainnya. Mereka telah membuat gang dengan nama yang menyeramkan seperti: gang pelajar putri Nero di kota kecil Pati, Balikpapan, Malang dan kota2 lainnya. Kalau pembaca buka internet di situs You Tube akan terlihat video kekerasan yang dilakukan sekelompok pelajar putri terhadap pelajar putri lainnya. Kekerasan terjadi diantara pelajar putri di sekolah negeri maupun swasta; di sekolah berbasis agama ataupun tidak. Tingkat kekerasan di tingkat pelajar ini sudah sangat mengkuatirkan.

Ada pepatah: Ala bisa karena biasa. Karena sudah terbiasa hidup di lingkungan kekerasaan dari sekolah dasar sampai sekolah menengah umum dan kejuruan; perilaku inipun terbawa pada jenjang pendidikan tinggi. Kekerasan di tingkat mahasiwapun juga semakin memalukan. Kita bisa lihat berita kekerasan mahasiswa baik di media elektronik maupun cetak terjadi dilingkungan kampus diantara kelompok mahasiswa fakultas yang berbeda. Tawuran di kalangan mahasiswa juga terjadi antar kampus hampir di seluruh kota2 besar di Indonesia. Kekerasan di lingkungan kampus yang menjadi breaking news terjadi di IPDN Jawa Barat yang sampai merenggut jiwa berkali-kali. Sampai2, masyarakat menyebut IPDN sebagai Institut Pembunuh Dalam Negeri. Sekolah dan kampus sebagai tempat pencerahan akal budi menjadi kehilangan pamornya, sudah.

Aku kutip sebagian renungan Dorothy law Notle, yang perlu kita renungkan bersama:
Jika anak hidup dalam suasana penuh kritik, ia akan belajar untuk menyalahkan.
Jika anak hidup dalam permusuhan, ia akan belajar berkelahi.
Jika anak hidup dalam ketakutan, ia akan belajar untuk gelisah.
Jika anak hidup dalam belas kasihan diri, ia akan belajar untuk mudah memaafkan dirinya sendiri
Jika anak hidup dalam ejekan, ia akan belajar untuk merasa malu.
Jika anak hidup dalam kecemburuan, ia akan belajar untuk iri hati.
Jika anak hidup dalam rasa malu, ia akan belajar untuk rasa bersalah.
Jika anak hidup dalam semangat dan jiwa besar, ia akan belajar untuk percaya diri

Menyelesaikan konflik dengan otot, marah dan senjata sudah menjadi budaya yang sangat menakutkan. Sekarang, kita lihat perang antar suku, kampung, nagari dan desa sudah terjadi secara terbuka karena memperebutkan batas tanah atau masalah sosial lainnya. Korban jiwa akibat konflik ini sudah sangat banyak. Di kota besar seperti Jakarta, kekerasan di jalan menjadi kejadian sehari-hari. Perkelahian antar pengemudi motor, angkot, bis dan mobil pribadi terjadi setiap saat. Kesemrawutan lalu lintas dan kemacetan jalan membat semua orang stres dan menjadi pemarah. Pelaku pengemudi bak preman jalanan, siapa yang berani dia dapat jalan; akibat sering terjadi serempetan dan tabrakan yang menimbulkan perkelahian, korban luka dan nyawa. Bangsa ini tidak mampu lagi menggunakan kearifan nenek moyang; musyawarah untuk mufakat menyelesaikan masalah diantara mereka. Pepatah: Bulat air karena pembuluh, bulat kata karena mufakat; tidak dikenal apalagi menjadi sikap hidup.

Mari kita lihat lagi kelompok profesi lain juga mempertotonkan kekerasan secara telanjang dimuka publik. Anggota DPR ataupun DPRD yang terhormat berkelahi karena tidak mampu mengendalikan emosi ketika berbeda pendapat. Rakyat sebenarnya, sangat luka atas perilaku wakil kita yang mengedepankan otot, marah jauh dari akal budi. Keputusan bijak apa yang dapat dihasilkan untuk membuat negara ini adil dan makmur bila wakil rakyat berperilaku seperti preman? Yang paling mengerikan adalah kekerasan antar alat negera. Kita sering melihat dan mendengar berita perang antar Polisi dan TNI karena persolan personal. Keributan personal antar anggota korps diselesaikan dengan senjata dengan saling serang yang mengorbankan nyawa sia-sia dengan senjata yang dibeli dari uang pajak rakyat yang sudah menderita.

Sungguh, ibu pertiwi sudah tidak punya air mata lagi untuk meratapi perilaku kekerasan yang terjadi pada anak bangsa hampir diseluruh wilayah nusantara. Apakah masih ada solusi untuk membuat Nusantara Bernyanyi?

2. Apa yang salah dalam pendidikan Kita?
Bagaimana kebijakan pendidikan kita? Selama ini terdapat kecenderungan bahwa kebijakan pendidikan yang mengagungkan kecerdasan (IQ = intelegent Quotient). Ini tampak dengan kebijakan Ujian Akhir Nasional yang Ditetapkan oleh Depdiknas angka kelulusan menjadi indikator satu2nya keberhasilan proses pendidkan. Hal yang terpenting pembentukan karakter atau kepribadian anak dilupakan untuk digarap dengan baik sehingga anak didik dapat menjadi manusia yang ber akal budi lebih baik.

Akibat kebijakan pendidikan ini, Sekolah-sekolah lebih menitikberatkan pada aspek-aspek akademik yang mengarah kepada pengembangan intelektual dibandingkan dengan pengembangan kecerdasan emosional dan spiritual. Indikatornya adalah: (1) jumlah jam dan jenis pelajaran yang berkontribusi untuk pengembangan kecerdasan intelektual lebih banyak; (2) proses pembelajaran termasuk ulangan dan ujian lebih mengarah kepada kemampuan akademik; (3) kejuaraan dan keteladanan siswa lebih bertumpu kepada hal-hal yang bersifat akademik; (4) kriteria kenaikan kelas dan kelulusan lebih dominan pada aspek-aspek akademik.[2]

Dengan tidak cukupnya anak didik mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan kecerdasan emosinya berakibat buruk terhadap karakter atau kepribadiannya. Sebenarnnya, nenek moyang sangat arif dan bijak; kalau saja penguasa Depdiknas kita cukup cerdas seharusnya mereka mengetahui kearifan falsafah : Dasar lebih kuat dari pada ajar. Artinya, peletakan dasar perilaku yang baik di lingkungan rumah, sekolah dan masyarakat sangatlah penting dalam karakter anak bangsa. Seharusnya, Depdiknas dan Dinas Pendidikan Propinsi dan kabupaten/kota membuat instrumen pendidikan yang memberikan peluang anak didik untuk meningkatkan EQ mereka.

Emotional Quotient (EQ) yaitu: kemampuan untuk mengenali emosi diri; kemampuan untuk mengelola dan mengexpresikan emosi dengan tepat; kemampuan untuk memotivasi diri; kemanpuan untuk mengenal orang lain dan kemampuan untuk membina hubungan dengan orang lain.[3]

Sukses seseorang tidak hanya ditentukan oleh IQ, tetapi banyak dipengaruhi faktor lain salah satunya adalah EQ. Daniel Goleman berpendapat bahwa IQ hanya menyumbangkan 20% terhadap keberhasilan seseorang, selebihnya ditentukan oleh faktor-faktor lain dimana EQ termasuk di dalamnya. Didalam dunia kerja : IQ gets you hired, but EQ gets you promoted.

3. Bagaimana meningkatkan EQ?
Pada dasarnya EQ dapat ditingkatkan bila ada rekayasa sosial yang ditujukan pada perkembangan anak sejak dini. Kekerasan terhadap anak balita oleh orang dewasa di rumah harus dicegah dan dihukum sesuai dengan Undang2 yang berlaku. Anak Balita harus mendapat kasih sayang dari ibu dan ayah secara wajar. Pendidikan pra sekolah perlu terus dikembangkan sehingg anak balita tumbuh sehat jasmani dan rohaninya. Mungkin, mata ajar budi pekerti di sekolah perlu diberikan kembali.

EQ dapat ditingkatkan dengan memberikan kesempatan pada anak didik untuk mempelajari dan menekuni kesenian (Art) bisa: seni tari, seni suara, seni patung, musik, seni peran, seni lukis dan seni bela diri. Semua ketrampilan di bidang seni membutuhkan ketekunan, persistensi dan fokus terus berlatih sampai mahir. Untuk dapat trampil dibidang seni perlu tingkat kesabaran yang tinggi, selama bertahun-tahun. Sebagai contoh: untuk dapat menjadi penari Bali yang mahir dibutuhkan waktu yang panjang tanpa mengenal lelah dan dilakukan dengan suka cita. Anak didik dengan EQ yang tinggi menjadi manusia dengan karakter yang baik sepert : sabar, kreatif dan lentur. Disamping itu, mereka akan dapat mudah adaptif dengan perubahan dan mudah berkerja sama. Secara paralel, anak didik dengan EQ tinggi juga mempunyai etika sosial yang baik sehingga dapat menciptakan kehidupan yang harmonis dilingkunagan rumah, sekolah dan masyarakat.

4. Membuat Nusantara Bernyanyi
Kebanyakan orang mengatakan pendidikan seni itu mahal sehingga tidak menjadi prioritas gerakan nasional dalam rangka peningkatan EQ anak didik. Sebenarnya, tidak juga apabila kita cukup cerdas memilih pendidikan kesenian yang dapat dilakukan diseluruh sekolah di Indonesia. Saya selalu menyampaikan ide : Nusantara Bernyanyi pada setiap kesempatan baik formal maupun informal di kampus, pimpinan, propinsi, kabupaten atau siapapun sehingga ide ini dapat bergulir dengan harapan menjadi bola salju raksasa di masa depan.

Ide ini sangat sederhana dengan mengajarkan anak didik kita setiap tingkat sekolah dasar sampai menengah belajar bernyanyi dan bersuling ria. Kenapa suling dan bernyanyi? Karena suling sangat murah dan bisa juga dibuat sendiri. Di setiap desa di Indonesia ini ada bambu sebagai bahan baku suling. Adapun, guru seni suling dapat dicari pemuda atau pemudi desa yang mahir meniup suling dan bernyanyi. Mudah dan murah bukan?

Bagaimana praktiknya di sekolah? Setiap anak berlatih suling setiap minggu 2 jam mata ajar seni suling dan bernyanyi. Untuk naik kelas anak didik harus dapat bermain suling dan bernyanyi sebanyak 10 lagu. Artinya, mereka belajar dari berlatih 1 lagu untuk setiap bulan. Nilai untuk mata ajara ekstra kurikuler ini hanya A untuk yang bagus sekali dan B untuk yang baik. Dengan demikian, tamat sekolah dasar minimal mereka mahir 60 puluh lagu anak2 yang sesuai dengan perkembangan jiwa mereka. Anak didik yang lulus SMU akan mahir 120 buah lagi. Adapun, anak didik yang punya talenta akan berkembang dengan sendirinya.

Dinas Pendidikan dapat membuat lomba lagu tingkat kabupaten setiap tahun sehingga tercipta sejumlah lagu yang dapat digunakan sebagi pengajaran disekolah. Lagu2 ini bisa berbahasa daerah ataupun bahasa Indonesia; bisa bernafaskan budaya daerah dan religi agama. Pada tingkat propinsi, setiap tahun juga diadakan lomba cipta lagu yang bercirikan daerah asing2. Selanjutnya, tingkat nasional Depdiknas melakukan lomba cipta lagu setiap satu atau dua tahun untuk mendorong membuat lagu anak didik yang bernafaskan nusantara. Anda, bisa bayangkan berapa ribu lagu dapat diciptakan dan dimainkan oleh anak didik di seluruh Indonesia. Inilah yang saya sebut membuat Nusantara Bernyanyi.

Disamping, terjadi peningkatan jumlah dan mutu lagu anak dan remaja yang pas dengan kebutuhan perkembangan jiwa mereka, diharapkan juga peningkatan kualitas bambu sebagai bahan dasar alat musik. Bambu tidak saja dibuat untuk suling dan angklung, juga dapat dikembangkan inovasi membuat alat musik baru dari bambu. Di Equador, sebuah negara di Amerika Selatan, bambu dibuat alat musik yang dapat menghasilkan bunyi yang bervariatif dan menghasilkan suara musik yang menakjudkan mereka menyebutnya : Pan Flute. Alat musik seperti ini bukan tidak mungkin bisa diciptakan oleh pemuda/i Indonesia di masa depan.

Kalau saja gerakan itu dilaksanakan dengan baik kurun waktu 5 s/d 10 tahun sudah dapat diharapkan terjadi peningkatan terhadap EQ anak didik kita. Hanya mereka yang menanam saja, yang akan menuai panen. Gerakan Nuantara Bernyanyi akan berpengaruh terhadap kualitas EQ anak didik dengan ciri2 mempunyai karakter pribadi sbb:
· empaty
· mengungkapkan dan memahami perasaan
· mengendalikan amarah
· kemandirian
· kemampuan menyesuaikan diri
· disukai
· kemampuan memecahkan masalah antar pribadi
· ketekunan
· kesetiakawanan
· keramahan
· sikap hormat

5. Penutup
Mudah2an ide membuat Nusantara bernyanyi yang sederhana, murah dan mudah dilaksanakan, dapat diadopsi oleh para pengambil keputusan baik di tingkat sekolah, Kantor Dinas Pendidikan kecamatan/ Kabupaten/Kota, Propinsi dan nasional Depdiknas.


[1] DR. YASLIS ILYAS, DRG, MPH. Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia. Telp. (021) 7270169 / Fax. : (021) 786497, HP0811167429
Email:yaslis-ilyas@yahoo.com ; yaslis@ui.edu; Blog : yaslis&kesehatan masyarakat[2] Suytaman, Penegembangan Kecerdasan Spritual, Emosional, dan Intelektual. www.geocities.com/gurunyalah, Juli 2008.[3] Peter Salovey & Jhon Mayer in http/www.fedus.org